ATURAN NORMATIF DALAM JUAL BELI PROPERTI

Peraturan jual beli tanah yang utama sudah pasti mengenai urusan akte. Antara pembeli dan penjual yang sudah bersepakat akan melakukan transaksi, harus membuat akte jual beli atau sering disebut AJB. AJBini akan berguna pada saat balik nama sertifikat tanah yang dijual nantinya. AJB untuk jual tanah ini dibuat di PPAT, dengan melampirkan sertifikat asli tanah, KTP, bukti pembayaran pajak serta persetujuan keluarga penjual. Jika tidak membuat AJB, maka kedua belah pihak akan kesulitan saat balik nama sertifikat.

Untuk transaksi rumah dijual, selain ada AJB untuk tanahnya juga ada akte pengalihan untuk asset bangunan di atas tanah. Untuk mendapatkan akte pengalihan ini, maka ada ketentuan dasar yang harus dipenuhi. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ/2010 tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah Dan/Atau Bangunan, maka pihak penjual sudah harus melunasi PPh yang didapat atas hak guna bangunan tersebut. Pajak sudah harus disetor ke kas Negara, melalui kantor pos atau bank; yang dibuktikan dengan SSP (surat setoran pajak).

Jadi untuk kelancaran transaksi, lunasi dulu kewajiban di atas.
Selain itu, peraturan jual beli tanah juga mewajibkan transaksi terjadi di depan PPAT (pejabat pembuat akta tanah) atau Notaris, supaya pembeli dan penjual mengetahui kewajiban serta hak yang harus dilakukan, mempermudah pengurusan surat-surat dan ijin. Juga ada biaya yang harus dibayarkan untuk jasa PPAT ini.
Peraturan jual beli tanah yang harus diketahui adalah adanya Pajak Penjual dan Pajak Pembeli yang harus dibayarkan. Besarnya Pajak Penjual adalah sekitar 5% dari NPOP (Nilai Perolehan Objek Pajak), dibayarkan oleh orang yang menjual tanah. Sementara Pajak Pembeli dibayar oleh pembeli, nilainya sebesar 5% dari NPOP dikurangi NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Besar NPOP dan NPOPTKP sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah setempat.


Adapun jual beli tanah girik (tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat ) dapat dilakukan sebagai berikut:
Akta girik yang dipakai adalah girik asli
Bukti pembayaran PBB dari pemilik girik
Surat keterangan bahwa tanah girik tersebut tidak sedang dalam persengketaan
Surat keterangan Riwayat Tanah dari kelurahan/kecamatan/kepala desa. Adapun surat riwayat ini menerangkan asal tanah dan siapa saja pemilk tanah sebelumnya hingga sampai saat ini.
Surat keterangan dari Kelurahan/Kecamatan bahwa tanah tersebut belum diperjualbelikan kepada siapapun
Tanah tersebut tidak sedang dijaminkan 

BERMACAM STATUS TANAH:Nilai tanah selalu menjadi acuan dalam rangka transaksi jual–beli properti. Pada dasarnya kita dapat mengetahui nilai tanah tersebut dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditagihkan kepada pemilik properti setiap tahunnya, PBB (pajak bumi dan bangunan). NJOP seringkali menjadi obyek atas nilai properti tersebut, sedangkan sebenarnya yang menjadi acuan nilai properti tersebut adalah bagaimana status kepemilikan hak atas tanah tersebut
Sesuai Pasal 4 jo. Pasal 16 jo. Pasal 53 jo. PP 40/1996 dan PP 41/1996 jo. Negara memberikan berbagai jenis hal atas tanah yang terdiri dari: (1) hak individual yang bersifat perdata; (2) hak pengelolaan yaitu hak istimewa yang diberikan oleh negara pada instansi-instansi tertentu untuk dikelola dan diambil manfaat atasnya; (3) tanah wakaf yaitu hak atas tanah yang semula merupakan hak primer (HM, HGB, HGU, HP atau tanah girik) dan kemudian diwakafkan atau diserahkan oleh pemiliknya kepada badan keagamaan ataupun badan sosial lainnya untuk di wakafkan

Hak individual yang bersifat perdata terdiri dari:
(1) Hak primer yaitu hak yang langsung diberikan oleh negara kepada pemegang haknya yang meliputi:
(a) Hak milik yang merupakan hak terkuat dan terpenuh dan bisa dimiliki turun temurun tanpa ada batas waktu berakhirnya. Diatasnya bisa dibebani oleh hak-hak sekunder yang lebih rendah seperti HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Sewa dan Hak Numpang karang.
(b) Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak yang diberikan oleh negara untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah-tanah yang dikuasai oleh negara untuk jangka waktu tertentu yaitu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Jika sudah lewat pengguna hak ini dapat mengajukan pembaruan hak selama 30 tahun lagi.
(b) Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak yang diberikan oleh negara untuk mengolah/mengusahakan tanah-tanah tertentu dengan luas minimal 5 ha dan biasanya digunakan untuk perkebunan dan pertanian.
(c) Hak Pakai terdiri dua macam: Hak Pakai atas tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara dan tidak memiliki nilai ekonomis yaitu Hak Pakai atas tanah negara bagi instansi-instansi Pemerintah seperti TNI, departemen, kantor perwakilan negara lain (kedutaan besar/ konsulat); Hak Pakai atas tanah negara yang memiliki nilai ekonomis, maksudnya bisa diperjualbelikan atau dialihkan kepada orang/ pihak lainnya.

(2) Hak Sekunder (Derivatif) yaitu hak yang timbul atau dibebankan diatas hak atas tanah yang sudah ada. Hak ini bisa timbul karena perjanjian antara pemilik tanah sebagai pemegang hak primer dan calon pemegang Hak Sekunder.
Yang termasuk Hak atas tanah ini antara lain:
(a) Hak sekunder yang ditumpangkan di atas hak lain yang memiliki derajat yang lebih tinggi misalnya HGB/HGU/Hak Pakai di atas tanah Hak Milik
(b) Hak Sewa di atas tanah Hak Milik/ HGB/ HG/ Hak Pengelolaan atas tanah negara
(c) Hak Sewa atas tanah pertanian
(d) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
(e) Hak usaha bagi hasil
(f) Hak menumpang (Hak Numpang Karang)
(g) Hak Jaminan atas tanah, yang terdiri dari gadai dan hak tanggungan.

Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yaitu:


GIRIKTanah girik (sebutan lain: petok D, rincik, ketitir, dll) merupakan tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Jadi Girik bukan tanda bukti atas tanah melainkan merupakan bukti bahwa pemilik girik adalah pembayar pajak (PBB) dan orang menguasai tanah milik adat atas bidang tanah tersebut beserta bangunan (bila ada) di atasnyaSHM (Sertifikat Hak Milik)Sertifikat Hak Milik adalah jenis sertifikat yang pemiliknya memiliki hak penuh atas kepemilikan tanah pada kawasan dengan luas tertentu yang telah disebutkan dalam sertifikat tersebut. Status SHM adalah status yang paling kuat untuk kepemilikan lahan karena disini, lahan sudah menjadi milik seseorang tanpa campur tangan ataupun kemungkinan pemilikan pihak lain. Status Hak Milik juga tidak terbatas waktunya seperti Sertifikat hak Guna Bangunan.
Nilai properti dengan status SHM lebih tinggi dibandingkan SHGB dikarenakan tidak memiliki jatuh tempo, sehingga nilainya akan berkembang seiring dengan hukum permintaan dan penawaran akan tanah yang terus meningkat
Melalui sertifikat ini, pemilik bisa menggunakannya sebagai bukti kuat atas kepemilikan tanah, dengan kata lain bila terjadi masalah, maka nama yang tercantum dalam SHM adalah pemilik sah berdasarkan hukum. Sertifikat Hak Milik juga bisa menjadi alat yang kuat untuk transaksi jual beli, atau juga jaminan kredit. Proses mendapatkan sertifikat tanah melalui notaris/PPAT agar diuruskan ke BPN, dimana notaris lebih mengetahui seluk beluk dan syarat pembuatan seritifikat tanah. Syarat masing-masing berbeda bila tanah tersebut tanah hibah atau jual beli, tanah adat, tanah lelang, dan sebagainya.


SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)SHGB merupakan hak yang diberikan pada Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
Dengan berlakunya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, maka Jangka Waktu HGB diperpanjang, berdasarkan Pasal 22 ayat (1) huruf b, yaitu: “Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun.


SHSRS (Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal, rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas benda tak bergerak yang menjadi obyek kepemilikan di luar unit, mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...